Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Budaya Manusia Masa Pra Aksara
Untuk mengetahui kehidupan manusia masa pra aksara, terlebih dahulu perlu mengetahui pembagian zaman pra aksara berdasarkan hasil budayanya. Secara arkeologis, ilmu yang mempelajari kehidupan masa lampau melalui benda-benda artefak, tabir kehidupan masyarakat pra aksara Indonesia dapat diketahui.
Berdasarkan penggalian arkeologi, kehidupan masa pra aksara dibagi menjadi dua, yakni zaman yang ditSaudarai penggunaan alat-alat terbuat dari batu dan logam.
a. Zaman Batu
Zaman batu menunjuk pada suatu periode di mana alat-alat kehidupan manusia terbuat dari batu, walaupun ada juga alat-alat tertentu yang terbuat dari kayu dan tulang. Tetapi pada zaman itu secara dominan alat-alat yang digunakan terbuat dari batu. Dari alat-alat peninggalan zaman batu tersebut, melalui metode tipologi (cara menentukan umur berdasarkan bentuk atau tipe benda peninggalan), maka zaman batu dibedakan lagi menjadi 3 periode/masa, yaitu:
1) Sistem Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masa Batu Tua/Palaeolithikum
Zaman batu tua merupakan suatu masa dimana hasil buatan alat-alat dari batunya masih kasar dan belum diasah/diupam, sehingga bentuknya masih sederhana. Hasil budaya ini dikembangkan oleh gelombang migrasi ras Vedda. Contoh kebudayaan batu tua adalah kapak perimbas, kapak genggam, kapak penetak, alat serpih. Sebaran artefak dan peralatan paleolitik cukup luas sejak dari daerah-daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Halmahera.
Peninggalan kapak perimbas tersebar di wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Flores, dan Timor. Daerah Punung merupakan daerah yang terkaya akan kapak perimbas dan hingga saat ini merupakan tempat penemuan terpenting di Indonesia. Pendapat para ahli condong kepada jenis manusia homo erectus atau keturunan-keturunannya sebagai pencipta budaya Pacitan. Pendapat ini sesuai dengan pendapat tentang umur budaya Pacitan yang diduga dari tingkat akhir Plestosin Tengah atau awal permulaan Plestosin Akhir. Pada masa paleolithikum, sistem ekonomi yang dikembangkan adalah dengan cara berburu dan meramu sederhana. Hidup mereka umumnya hidup berkelompok dan masih tergantung pada alam. Untuk mempertahankan hidupnya, mereka menerapkan pola hidup nomaden atau berpindah-pindah, tergantung dari bahan makanan yang tersedia. Tempat-tempat yang dituju oleh komunitas itu umumnya lingkungan dekat sungai, danau, atau sumber air lainnya termasuk di daerah pantai. Mereka beristirahat misalnya di bawah pohon besar. Mereka juga membuat atap dan sekat tempat istirahat itu dari daun-daunan. Corak kehidupan ekonomi manusia pra aksara masa berburu dan meramu itu sering disebut dengan masa food gathering. Mereka hanya mengumpulkan 17 dan menyeleksi makanan, karena belum dapat mengusahakan jenis tanaman untuk dijadikan bahan makanan.
2) Sistem Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masa Batu Tengah/Mesolithikum
Zaman batu terus berkembang memasuki zaman batu madya atau batu tengah yang dikenal zaman Mesolitikum. Hasil kebudayaan batu madya ini sudah lebih maju apabila dibandingkan hasil kebudayaan zaman Paleolitikum (batu tua). Sekalipun demikian, bentuk dan hasil-hasil kebudayaan zaman Paleolitikum tidak serta merta punah tetapi mengalami penyempurnaan.
Bentuk flake dan alat-alat dari tulang terus mengalami perkembangan. Secara garis besar kebudayaan Mesolitikum ini terbagi menjadi dua kelompok besar yang ditSaudarai dengan lingkungan tempat tinggal, yakni di pantai dan di gua. Hasil budaya besar masa ini adalah kjokkenmoddinger dan abris sous rouce. Kjokkenmoddinger istilah dari bahasa Denmark, kjokken berarti dapur dan modding dapat diartikan sampah (kjokkenmoddinger=sampah dapur).
Dalam kaitannya dengan budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan tumpukan timbunan kulit siput dan kerang yang menggunung di sepanjang pantai Sumatera Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan. Dengan adanya kjokkenmoddinger ini dapat memberi informasi bahwa manusia purba zaman Mesolitikum umumnya bertempat tinggal di tepi pantai. Pada tahun 1925 Von Stein Callenfals melakukan penelitian di bukit kerang itu dan menemukan jenis kapak genggam (chopper) yang berbeda dari chopper yang ada di zaman Paleolitikum. Kapak genggam yang ditemukan di bukit kerang di pantai Sumatera Timur ini diberi nama pebble atau lebih dikenal dengan Kapak Sumatera. Kapak jenis pebble ini terbuat dari batu kali yang pecah, sisi luarnya dibiarkan begitu saja dan sisi bagian dalam dikerjakan sesuai dengan keperluannya. Di samping kapak jenis pebble juga ditemukan jenis kapak pendek dan jenis batu pipisan (batu-batu alat penggiling)
Kebudayaan abris sous roche merupakan hasil kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia purba pendukung kebudayaan ini tinggal di gua-gua. Kebudayaan ini pertama kali diteliti oleh Von Stein Callenfels, Bapak pra aksara Indonesia, di Goa Lawa dekat Sampung, Ponorogo. Penelitian dilakukan tahun 1928 sampai 1931.
Beberapa hasil teknologi bebatuan yang ditemukan misalnya ujung panah, flakke, batu penggilingan. Juga ditemukan alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Kebudayaan abris sous roche ini banyak ditemukan misalnya di Besuki, Bojonegoro,juga di daerah Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong. Pada masa mesolithikum, sistem ekonomi yang dikembangkan adalah dengan cara berburu dan meramu tingkat lanjut. Mereka sudah bertempat tinggal sementara, misalnya di gua-gua, atau di tepi pantai. Dengan kata lain, corak kehidupan sosial mereka adalah semi sedentair
3) Sistem Sosial, Ekonomi, dan Budaya Batu Muda/Neolithikum
Zaman batu muda merupakan suatu masa dimana alat-alat kehidupan manusia dibuat dari batu yang sudah dihaluskan, serta bentuknya lebih sempurna dari zaman sebelumnya. Hasil budaya ini dibawa oleh gelombang migrasi masa Proto Melayu. Hasil budaya utama masa neolithikum adalah kapak persegi dan kapak lonjong. 19 Nama kapak persegi berasal dari penyebutan oleh von Heine Geldern. Penamaan ini dikaitkan dengan bentuk alat tersebut. Kapak persegi ini berbentuk persegi panjang dan ada juga yang berbentuk trapesium.
Ukuran alat ini juga bermacam-macam. Kapak persegi yang besar sering disebut dengan beliung atau pacul (cangkul), bahkan sudah ada yang diberi tangkai sehingga persis seperti cangkul zaman sekarang. Sementara yang berukuran kecil dinamakan tarah atau tatah. Penyebaran alat-alat ini terutama di Kepulauan Indonesia bagian barat, seperti Sumatera, Jawa dan Bali. Diperkirakan sentra-sentra teknologi kapak persegi ini ada di Lahat (Palembang), Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya (Jawa Barat), kemudian Pacitan-Madiun, dan di Lereng Gunung Ijen (Jawa Timur). Yang menarik, di Desa Pasirkuda dekat Bogor juga ditemukan batu asahan. Kapak persegi ini cocok sebagai alat pertanian.
Sementara itu, nama kapak lonjong ini disesuaikan dengan bentuk penampang alat ini yang berbentuk lonjong. Bentuk keseluruhan alat ini lonjong seperti bulat telur. Pada ujung yang lancip ditempatkan tangkai dan pada bagian ujung yang lain diasah sehingga tajam. Kapak yang ukuran besar sering disebut walzenbeil dan yang kecil dinamakan kleinbeil. Penyebaran jenis kapak lonjong ini terutama di Kepulauan Indonesia bagian timur, misalnya di daerah Papua, Seram, dan Minahasa. Peralihan Zaman Mesolitikum ke Neolitikum menSaudarakan adanya “revolusi kebudayaan” dari food gathering menuju food producing dengan 20 homo sapien sebagai pendukungnya. Mereka tidak hanya mengumpulkan makanan tetapi mencoba memproduksi makanan dengan menanam.
Kegiatan bercocok tanam dilakukan ketika mereka sudah mulai menetap (sedentair) dan bertempat tinggal, walaupun masih bersifat sementara. Mereka melihat biji-bijian sisa makanan yang tumbuh di tanah setelah tersiram air hujan. Pelajaran inilah yang kemudian mendorong manusia pra aksara untuk melakukan cocok tanam. Apa yang mereka lakukan di sekitar tempat tinggalnya, lama kelamaan tanah di sekelilingnya habis, dan mengharuskan pindah mencari tempat yang dapat ditanami. Mereka membuka hutan untuk lahan pertanian dengan menebang pohon-pohon atau membakar lahan seiring dengan ditemukannya api.
Tanaman yang dibudidayakan berupa umbiumbian, sukun, pisang, durian, manggis, rambutan, duku, salak dan sebagainya. Hidup bermasyarakat dengan bergotong royong mulai dikembangkan juga. Perahu bercadik dan rakit banyak digunakan sebagai sarana lalu lintas air. Alat komunikasi berupa bahasa dianggap sangat penting. Tumbuh kepercayaan animisme (pemujaan terhadap roh nenek moyang) dan dinamisme (kepercayaan terhadap benda-benda yang mempunyai kekuatan gaib), dan totemisme (kepercayaan terhadap hewan) seiring dengan berkembangnya budaya megalithikum pada masa ini.
b. Zaman Logam
Perlu ditegaskan bahwa dengan dimulainya zaman logam bukan berarti berakhirnya zaman batu, karena pada zaman logam pun alat-alat dari batu terus berkembang bahkan sampai sekarang. Sesungguhnya nama zaman logam hanyalah untuk menyatakan bahwa pada zaman tersebut alat-alat dari logam telah dikenal dan dipergunakan secara dominan.
Zaman logam disebut juga dengan zaman perundagian. Perkembangan zaman logam di Indonesia berbeda dengan yang ada di Eropa, karena zaman logam di Eropa mengalami 3 fase/bagian, yaitu zaman tembaga, zaman perunggu, dan zaman besi. Di Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya tidak mengalami zaman tembaga tetapi langsung memasuki zaman perunggu dan besi secara bersamaan. Hasil temuan yang 21 lebih dominan adalah alat-alat dari perunggu sehingga zaman logam disebut juga dengan zaman perunggu.
Zaman logam dikembangkan oleh migrasi bangsa Deutro Melayu. Alat yang dihasilkan pada masa logam atau perundagian, antara lain:
1) Nekara perunggu, yaitu semacam tambur besar dari perunggu yang berpinggang di bagian tengahnya dan sisi atasnya tertutup; dipercayai sebagai bagian bulan yang jatuh dari langit. Nekara berfungsi sebagai pelengkap upacara untuk memohon turun hujan dan sebagai genderang perang. Pola hias beragam, dari pola binatang, geometris, dan tumbuhtumbuhan, ada pula yang tak bermotif; banyak ditemukan di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Selayar, Papua.
2) Moko, yaitu benda semacam nekara yang lebih ramping yang terdapat di Pulau Alor yang digunakan sebagai benda pusaka atau sebagai mas kawin.
3) Kapak perunggu, disebut juga kapak sepatu atau kapak corong. Bentuk kapak berupa pahat, jantung, atau tembilang. Kapak perunggu memiliki motif berpola topang mata atau geometris.
4) Bejana perunggu, yaitu sebuah benda yang bentuknya mirip gitar Spanyol. Alat ini ditemukan antara lain di Madura dan Sulawesi.
5) Arca-arca perunggu, dengan bentuk arca orang yang sedang menari, berdiri, naik kuda, atau orang yang sedang memegang panah, ditemukan antara lain di Bangkinang (Riau), Lumajang, Bogor, Palembang.
6) Berbagai macam perhiasan dan manik-manik, seperti gelang tangan, gelang kaki, cincin, kalung, dan bandul/kalung. ada yang terbuat dari perunggu, emas, dan besi; banyak ditemukan di Bogor, Bali, dan Malang; sedangkan manik-manik banyak ditemukan di Sangiran, Pasemah, Gilimanuk, Bogor, Besuki, Bone; berfungsi sebagai bekal kubur; bentuknya ada yang silinder, bulat, segi enam, atau oval.
Pada zaman perundagian, dikenal teknik pembuatan alat-alat dari logam, yaitu:
a) a cire perdue, caranya, mula-mula benda yang dimaksud dibuat dari lilin. Setelah itu benda ditutup dengan tanah liat basah, lalu dibakar, lilin meleleh ke luar dari lubang yang dibuat di bagian bawah. Cetakan selesai 22 dibuat, kemudian logam cair dituangkan ke dalam cetakan melalui lubang tadi. Setelah dingin cetakan dipecah. Cara ini hanya dapat digunakan untuk satu kali saja.
b) bivalve, menggunakan cetakan dua setangkap terbuat dari tanah liat basah. Setelah kering logam cair dituangkan ke dalamnya dan didiamkan sampai dingin lalu cetakan di buka. Cetakan ini dapat digunakan berulang kali.
Kehidupan pada masa logam juga ditSaudarai dengan semakin berkembangnya kegiatan bercocok tanam karena didukung oleh pola hidup yang menetap. Pola pemukiman yang teratur dari masyarakat yang bertempat tinggal juga berkembang. Peralatan pokok untuk bertani pada masa logam ini adalah jenis kapak persegi dan kapak lonjong. Kemudian berkembang ke alat lain yang lebih baik. Dengan dibukanya lahan dan tersedianya air yang cukup maka terjadilah persawahan untuk bertani. Masa ini juga mulai dibudidayakan tanaman padi.
Pada masa logam, masyarakat juga ditSaudarai dengan jenis mata pencaharian lain selain bertani, yakni mengolah logam atau undagi. Dengan adanya pola mata pencaharian, mulai terjadi pembagian kerja dalam kelompok. Masyarakat yang semakin kompleks memungkinkan berkembangnya kebutuhan akan perlunya sosok seorang pemimpin. Pemilihan pemimpin dilakukan berdasarkan primus inter pares. Pada masa pra aksara juga berkembang kebudayaan batu besar atau megalithikum. Megalithikum merupakan suatu istilah kebudayaan batu besar (mega = besar; lithos = batu).
Kebudayaan Megalithikum bukanlah suatu zaman yang berkembang tersendiri, melainkan suatu hasil budaya yang timbul pada zaman neolithikum dan berkembang pesat pada zaman logam.
Peninggalan-peninggalan masa pra aksara pasa masa megalithikum adalah:
a) Dolmen, yaitu bangunan seperti meja dari batu berkaki menhir yang digunakan untuk pelinggih roh atau tempat sesajian.
b) Menhir, yaitu sebuah tugu batu yang diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati orang mati.
c) Sarkofagus, adalah bangunan peti mati yang bentuknya seperti lesung. 23
d) Peti kubur batu, yaitu peti mayat yang dibentuk dari enam papan batu, terdiri dari dua sisi panjang, dua sisi lebar, sebuah lantai, dan sebuah penutup besi.
e) Punden berundak, yaitu bangunan berupa batu yang berundak-undak, yang biasanya terdiri dari tujuh dataran (undak), digunakan untuk kegiatan pemujaan terhadap arwah nenek moyang.
f) Waruga, yaitu kubur batu yang berbentuk kubus atau bulat.
g) Arca-arca megalitik, berupa arca-arca yang menggambarkan manusia atau binatang, seperti gajah, harimau, kerbau, harimau, monyet dalam ukuran yang besar. Gambar 8. Menhir yang ada di Limapuluh Koto Sumber: Direktorat Geografi Sejarah. 2009. Atlas Prasejarah Indonesia. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Dengan budaya megalithikum, masyarakat sudah memahami adanya kehidupan setelah mati. Mereka meyakini bahwa roh seseorang yang telah meninggal akan ada kehidupan di alam lain. Oleh karena itu, roh orang yang sudah meninggal akan senantiasa dihormati oleh sanak kerabatnya. Terkait dengan itu, maka kegiatan ritual yang paling menonjol adalah upacara penguburan orang meninggal.
Dalam tradisi penguburan ini, jenazah orang yang telah meninggal dibekali berbagai benda dan peralatan kebutuhan sehari-hari, misalnya barang-barang perhiasan, periuk dan lain-lain yang dikubur bersama mayatnya. Hal ini dimaksudkan agar perjalanan arwah orang yang meninggal selamat dan terjamin dengan baik. Dalam upacara penguburan ini semakin kaya orang yang meninggal maka upacaranya juga semakin mewah. Barang-barang berharga yang ikut dikubur juga semakin banyak. Selain upacara-upacara penguburan, juga ada upacara-upacara pesta 24 untuk mendirikan bangunan suci.
Mereka percaya manusia yang meninggal akan mendapatkan kebahagiaan jika mayatnya ditempatkan pada susunan batu-batu besar, misalnya pada peti batu atau sarkofagus. Batu-batu besar menjadi lambang perlindungan bagi manusia yang berbudi luhur juga memberi peringatan bahwa kebaikan kehidupan di akhirat hanya akan dapat dicapai sesuai dengan perbuatan baik selama hidup di dunia. Hal ini sangat tergantung pada kegiatan upacara kematian yang pernah dilakukan untuk menghormati leluhurnya.
Oleh karena itu, upacara kematian merupakan manifestasi dari rasa bakti dan hormat seseorang terhadap leluhurnya yang telah meninggal. Sistem kepercayaan masyarakat pra-aksara yang demikian itu telah melahirkan tradisi megalitik. Mereka mendirikan bangunan batu-batu besar seperti menhir, dolmen, punden berundak, dan sarkofagus. Pada zaman praaksara, seorang dapat dilihat kedudukan sosialnya dari cara penguburannya. Bentuk dan bahan wadah kubur dapat digunakan sebagai petunjuk status sosial seseorang.
Penguburan dengan sarkofagus misalnya, memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan penguburan tanpa wadah. Dengan kata lain, pengelolaan tenaga kerja juga sering digunakan sebagai indikator stratifikasi sosial seseorang dalam masyarakat. Seiring dengan perkembangan pelayaran, masyarakat zaman pra-aksara akhir juga mulai mengenal sedekah laut. Sudah barang tentu kegiatan upacara ini lebih banyak dikembangkan di kalangan para nelayan.
Bentuknya mungkin semacam selamatan apabila ingin berlayar jauh, atau mungkin saat memulai pembuatan perahu. Sistem kepercayaan ini sampai sekarang masih dapat ditemui di beberapa daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar