Akulturasi adalah percampuran dua atau lebih kebudayaan, tetapi unsur- unsur pembentuknya masih nampak. Akulturasi juga sering diartikan sebagai percampuran dua atau lebih kebudayaan, tanpa menghilangkan budaya aslinya. Akulturasi kebudayaan Indonesia dan kebudayaan Islam nampak pada hal-hal sebagai berikut.
a. Seni Bangun Masjid
Unsur-unsur asli Indonesia pada bangunan masjid di Indonesia, sebagai berikut.
1) Atap tumpang, yaitu susunan atap bertingkat, yang mengingatkan kepada bentuk meru seperti terdapat pada bangunan pura di Bali. Contoh Masjid yang beratap tampang misalnya: Masjid Agung Cirebon, Masjid Katangka di Sulawesi Selatan, Masjid Agung Demak, Masjid
Baiturrachman di Aceh, Masjid Ternate, Masjid Agung Banten dan lain- lain.
2) Menara, bukanlah bagian masjid yang harus ada, namun dalam seni bangun Islam menjadi bangunan tambahan yang indah. Menara Masjid Kudus misalnya, dibangun menyerupai bangunan candi yang diberi atap tumpang. Sedangkan Menara Masjid Banten merupakan tambahan yang dibangun oleh seorang pelarian Belanda bernama Cardeel.
3) Letak Masjid, Di Indonesia penempatan masjid, khususnya Masjid Jami' disesuaikan dengan komposisi tata kota "Macopat" yaitu, masjid ditempatkan dekat Istana (Keraton) dan alun-atun, tempat bersatunya rakyat dengan rajanya dibawah pimpinan seorang imam.
b. Makam
Unsur budaya asli Indonesia pada komplek pemakaman Islam nampak pada gugusan cungkup yang ditata menurut hubungan keluarga. Bahkan makam para raja berbentuk seperti bangunan istana lengkap dengan keluarga, pembesar dan pengiring terdekatnya. Selain itu biasanya penempatannya di tempat yang tinggi (meru = gunung), contohnya Komplek Makam Raja-raja Mataram di Imogiri dan Komplek Makam Air Mata di Madura. Sedangkan Komplek Makam Sendang Duwur, di atas bukit, di daerah Tuban, gapuranya dibuat menyerupai sayap Garuda. Dalam konsep Hindu, Garuda dianggap sebagai kendaraan Dewa Wisnu dan sebagai lambang pembebasan menuju nirwana (moksa).
c. Aksara dan Seni Rupa
Huruf Arab merupakan huruf yang dipakai dalam Kitab Suci AI-Qur'an. Di Indonesia, huruf Arab tersebut, diolah sedemikian rupa sehingga menjadi lebih sederhana. Huruf Arab yang demikian disebut huruf "Arab Gundul" atau "Huruf Arab Pego" atau "Huruf Jawi". Huruf tersebut digunakan di berbagai daerah di Indonesia dengan menggunakan bahasa daerah setempat.
Akulturasi pada bidang seni rupa terlihat pada Seni Kaligrafi atau Seni Khoth, yang bersumber dari AI-Qur'an dan Hadits. Seni Kaligrafi ini banyak kita jumpai pada hiasan masjid, motif batik, keramik, keris, batu nisan, hiasan pada mimbar atau mihrab, dan lain-lain. Unsur budaya Indonesia
tampak pada bentuknya, berupa tokoh wayang, manusia dan binatang yang
distylir.
d. Seni Sastra
Pengaruh sastra Islam di Indonesia yang utama adalah pengaruh Sastra Persia, misalnya: Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman, Hikayat 1001 Malam, dan lain-lain. Seni sastra Hindu juga berpengaruh pada perkembangan seni sastra Islam di Jawa. Hasil seni sastra Hindu disesuaikan dengan keadaan pada zaman Islam. Misalnya : Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Sri Rama, Hikayat Maharaja Rahwana, dan lain-lain. Salah satu jenis karya sastra Hindu - Jawa yang tersebar ke Asia Tenggara adalah cerita- cerita Panji, yang cukup berpengaruh pada zaman Islam. Dalam sastra Islam di daerah Melayu dikenal adanya : Syair Ken Tambunan, Syair Panji Sumirang, Hikayat Panji Wilakusuma, Lelakon Mahesa Kumitir, dan lain- lain. Di samping itu pada zaman Islam juga berkembang beberapa jenis karya sastra lain, seperti:
1. Suluk : kitab-kitab yang membentangkan soal-soal Tasawuf yang berbau mistik, misalnya Suluk Wujil, Suluk Sukarsa, Suluk Malang Sumirang, Serat Wirid, dan lain-lain.
2. Babad : hikayat yang digubah menjadi cerita sejarah, contoh : Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Babad Giyanti, dan lain-lain.
3. Primbon : menerangkan tentang kegaiban, ramalan-ramalan, pemberian makna terhadap suatu kejadian, penentuan hari baik dan buruk, dan lain-lain. Misalnya : Kitab Primbon Betaljemur Adammakna, Kitab Primbon Lukmana Kim, dan lain-lain.
e. Sistem Pemerintahan
Pengaruh budaya Islam dalam sistem pemerintahan tampak pada penyebutan nama raja. Raja tidak lagi disebut sebagai Maharaja, melainkan diganti dengan sebutan Sultan atau Sunan, Panembahan, Maulana, dan lain- lain. Pada umumnya nama raja pun disesuaikan dengan nama Islam (Arab), misalnya, raja Malaka, Raja Paramisora, setelah masuk Islam berganti nama menjadi Sultan lskandar Syah. Di Jawa sebutan Sultan diikuti dengan nama
Jawa, misalnya : Sultan Trenggono, Sultan Hadiwijaya, Sultan Agung Hanyakrakusurno, dan lain-lain. Dalam pengangkatan seorang raja, peranan ulama atau para wali juga sangat menentukan, misalnya: dalam pengangkatan Raja Demak, Raden Fatah, Sultan Pajang, Hadiwijaya dan Raja Mataram pertama, Panembahan Senopati.
f. Sistem Kalender
Pada zaman Islam sistem kalender Saka masih tetap berlaku. Akan tetapi pada masa pemerintahan Sultan Agung diputuskan bahwa secara resmi Kerajaan Mataran meninggalkan Kalander Saka diganti dengan Sistem Kalender Hijriah (lunar system). Walaupun demikian perwujudan akulturasinya sangat tampak. Angka tahun Kalender Jawa baru ini meneruskan angka tahun Saka. Nama-nama bulan dalam kalender Jawa juga merupakan penyesuaian dari nama-nama bulan dalam Kalander Hijriah, dengan pengucapan Jawa misalnya, Sapar, Rejeb, dan Dulkangidah. Ada pula nama-nama bulan yang sama sekali berubah dari nama-nama Kalender Hijriah, misalnya, Muharram berubah menjadi Suro, Ramadhan menjadi Pasa. Selain itu dalam Kalender Jawa juga dikenal adanya Sistem Pasaran, yaitu : Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing. Kalender Jawa juga dilengkapi dengan sistem Wuku dan Windu.
g. Filsafat (Tasawuf) dan Tharikat
Kata Tasawuf berasal dan kata Suf yang berarti Kain Wol (bulu domba). Hal inidikaitkan dengan kebiasaan Kaum Sufi (ahli tasawuf) memakai jubah dari bulu domba. Tasawuf juga dihubungkan dengan pengertian Suluk yang berarti perjalanan. Hal ini dikaitkan dengan kebiasaan Kaum Sufi sering melakukan perjalanan (menggembara). Suluk juga berarti karya sastra ahli tasawuf baik dalam bentuk prosa ataupun puisi yang isinya mengenai mistik Islam. Hamzah Fansuri, misalnya menyebut ajarannya sebagai Ilm as Suluk. Istilah Suluk adakalanya dikaitkan dengan Dzikir dan Tharikat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Tasawuf adalah ajaran tentang ke- Tuhanan, sehubungan dengan hasrat manusia yang didorong oleh rasa cinta terhadap Tuhannya. Oleh karena itu kaum sufi selalu mencari jalan untuk mendekati-Nya melalui jalan-jalan suci.
Di Indonesia ilmu tasawuf merupakan sesuatu yang sangat digemari. Hal ini disebabkan ajaran tasawuf memiliki kesesuaian dengan unsur budaya Hindu-Budha, sebelum kedatangan Islam. Sehingga di beberapa wilayah di Indonesia banyak terdapat ahli-ahli tasawuf. Dari Aceh misalnya terdapat beberapa tokoh-tokoh Ahli Tasawuf misalnya Hamzah Fansuri, Syamsuddin as Sumatrani, Nurruddin ar Raniri dan Abdur Rauf dari Singkel. Sedangkan ahli-ahli tasawuf dari Jawa misalnya: Sunan Bonang, Sunan Panggung, dan Syekh Siti Jenar.
Tharikat merupakan salah satu upaya kaum sufi mendekatkan diri dengan Tuhannya di bawah bimbingan guru tasawuf. Beberapa aliran tharikat yang terdapat di Indonesia misalnya: Tharikat Qadiriyah, Tharikat Sammaniah, Tharikat Syattariah dan Tharikat Naqsyabandiah. Akulturasi (percampuran) ilmu tasawuf dengan budaya asli Indonesia tampak dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Ajaran Pantheisme dari Syekh Siti Jenar, yaitu : Manunggaling Kawulo lan Gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan). Ajaran tersebut banyak diwarnai oleh unsur-unsur pra-lslam seperti: Moksa dan Nirwana.
2. Buku-buku karya Ronggowarsito (pujangga Keraton Mataram), seperti : Serat Wirid, Dharmogandul, dan Serat Centini, yang mencampurkan ajaran-ajaran Hindu - Budha ke dalam ajaran Kebatinan Islam.
Ratusan aliran kebatinan (Islam Kejawen) yang memadukan ajaran Islam dengan ajaran-ajaran Hindu-Budha dan budaya Jawa. Misalnya: aliran kebatinan Saptodharmo, Pangestu, dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar