Mengenai tempat asal dan kapan datangnya Islam ke Nusantara, sedikitnya ada lima teori besar.
a. Teori Arab
Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, atau tepatnya Hadramaut. Teori ini dikemukakan Crawfurd, Keyzer, Niemann,
De Hollander, dan Veth. Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, meskipun ia menyebut adanya hubungan dengan orang-orang Mohameddan di India Timur. Keyzer beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir yang bermadzhab Syafii, sama seperti yang dianut kaum muslimin nusantara umumnya. Teori ini juga dipegang oleh Niemann dan de Hollander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan Mesir, sebagai sumber datangnya Islam, sebab muslim Hadaramaut adalah pengikut madzhab Syafii seperti juga kaum muslimin nusantara. Sedangkan Veth hanya menyebut orang-orang Arab, tanpa menunjuk asal mereka di Timur Tengah maupun kaitannya dengan Hadramaut, Mesir atau India.
Teori yang sama juga diajukan oleh Hamka dalam seminar ‘Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia’ pada tahun 1962. Menurutnya, Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab (Makkah), bukan dari India. Alasan yang dikemukakan Hamka adalah mayoritas pemeluk agama Islam di Indonesia bermazhab Syafii, sama dengan mazhab yang dianut oleh pemeluk Islam di jazirah Arab.
Untuk menetapkan masuknya agama Islam ke Indonesia dengan tepat tidaklah mungkin. Ada kemungkinan dibawa ke Indonesia oleh pedagang- pedagang Arab pada permulaan abad tahun hijriah, lama sebelum ada tulisan- tulisan sejarah tentang perkembangan Islam itu. Pendapat yang demikian itu berdasarkan pengertian tentang ramainya perdagangan dengan dunia Timur yang sejak dahulu dilakukan oleh orang Arab. Pada abad ke 2 sebelum masehi perdagangan dengan Srilanka seluruhnya ada di tangan mereka. Pada permulaan abad ke 7, perdagangan dengan Tiongkok melalui Srilanka sangat ramai sehingga pada pertengahan abad ke 8 banyak kita jumpai pedagang Arab di Canton, sedang antara abad 10 dan 15 sampai datangnya orang Portugis, mereka telah menguasai perdagangan di Timur. Diperkirakan bahwa mereka sejak lama telah mendirikan tempat-tempat perdagangan pada beberapa kepulauan di Indonesia, sebagaimana halnya pada tempat-tempat lainnya, meskipun tentang kepulauan itu tidak disebut-sebut oleh ahli ilmu bumi Arab sebelum abad ke 9, menurut berita Tiongkok tahun 674 masehi ada kabar tentang seorang pembesar
Arab yang menjadi kepala daerah pendudukan bangsa Arab di pantai Barat Sumatera.
Sebagian besar dari pedagang Arab yang berlayar ke kawasan Indonesia datang dari Yaman, Hadramaut dan Oman di bagian Selatan dan Tenggara semenanjung tanah Arab. Kawasan Yaman telah memeluk Islam semenjak tahun 630-631 hijriyah tepatnya pada zaman Ali bin Abi Thalib. PengIslaman Yaman ini mempunyai implikasi yang besar terhadap proses Islamisasi Asia Tenggara karena pelaut dan pedagang Yaman menyebarkan agama Islam di sekitar pelabuhan tempat mereka singgah di Asia Tenggara.
Sedangkan Sayed Alwi bin Tahir al-Haddad, berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia dalam abad ke 7 masehi atau dengan kata lain agama Islam masuk ke pulau Sumatera pada tahun 650 masehi. Alasannya adalah karena Sulaiman as-Sirafi, pedagang dari pelabuhan Siraf di teluk Persia yang pernah mengunjungi Timur jauh berkata bahwa di Sala (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam pada waktu itu yaitu kira-kira pada akhir abad ke 2 hijriyah. Hal ini dapat dipastikan dan tidak perlu dijelaskan lagi karena pedagang rempah dan wangi-wangian yang terdapat di Maluku sangat menarik pedagang- pedagang muslimin untuk berkunjung ke Maluku dan tempat-tempat yang berdekatan dengan kepulauan itu.
b. Teori Gujarat.
Teori Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India bagain barat, berdekaran dengan Laut Arab. Tokoh yang menyatakan teori ini kebanyakan adalah sarjana dari Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah J. Pijnapel dari Universitas Leiden tahun 1872, berdasarkan catatan perjalanan Sulaiman, Marcopolo, dan Ibnu Batutah. Menurutnya, orang-orang Arab bermahzab Syafii telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriyyah (abad ke-7 Masehi), namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur, termasuk Indonesia. Dia mendukung teorinya ini dengan menyatakan bahwa, melalui perdagangan, amat memungkinkan terselenggaranya hubungan
antara kedua wilayah ini, ditambah lagi dengan umumnya istilah-istilah Persia yang dibawa dari India, digunakan oleh masyarakat kota-kota pelabuhan Nusantara.
Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Snouk Hurgronje yang melihat para pedagang kota pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah nusantara. Menurutnya, Islam telah lebih dulu berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua India. Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab. Dalam pandangan Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada masa berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif ” di di depan namanya.
Teori Snock Hurgronje ini lebih lanjut dikembangkan oleh Morrison pada 1951. Dengan menunjuk tempat yang pasti di India, ia menyatakan dari sanalah Islam dating ke nusantara. Ia menunjuk pantai Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang muslim dalam pelayaran mereka menuju nusantara.
Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta yang memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulana Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafi’i yang dianut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.
c. Teori Benggali
Teori ketiga yang dikembangkan Fatimi menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali (Bangladesh). Dia mengutip keterangan Tome Pures yang mengungkapkan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Islam muncul pertama kali di Semenanjung
Malaya dari arah pantai Timur, bukan dari Barat (Malaka), pada abad ke-11, melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Ia beralasan bahwa doktrin Islam di semenanjung lebih sama dengan Islam di Phanrang, elemen- elemen prasasti di Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang ditemukan di Leran. Drewes, yang mempertahankan teori Snouck, menyatakan bahwa teori Fatimi ini tidak bisa diterima, terutama karena penafsirannya atas prasasti yang ada dinilai merupakan perkiraan liar belaka. Lagi pula madzhab yang dominan di Benggali adalah madzhab Hanafi, bukan madzhab Syafii seperti di semenanjung dan nusantara secara keseluruhan.
d. Teori Persia.
Teori ini dikembangkan oleh Hoessein Djajadiningrat. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.Dalam memberikan argumentasinya, Hoesein Djajadiningrat lebih menitikberatkan analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia antara lain : Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syiah atas kematian. Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang berkembang dalam tradisi tabut di Pariaman di Sumatera Barat. Istilah “tabut” (keranda) diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa Parsi. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husain. Di Sumatera Tengah sebelah Barat, disebut bulat Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda Husain untuk dilemparkan ke sungai atau ke dalam perariran lainnya. Keranda tersebut disebut tabut diambil dari bahasa Arab.
Kedua, adanya kesamaan ajaran antara ajaran syaikh Siti Jenar dengan ajaran sufi al-Hallaj, sekalipun al-Hallaj telah meninggal pada 310 H/922 M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.
Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian al-quran tingkat awal. Dalam bahasa Persi Fathah ditulis jabar-zabar, kasrah ditulis jer-zeer, dhammah ditulis p’es-
py’es. Huruf sin yang tidak bergigi berasal dari Persia, sedangkan sin bergigi berasal dari Arab.
e. Teori Cina.
Islam disebarkan dari Cina telah dibahas oleh SQ Fatimi. Beliau mendasarkan torinya ini kepada perpindahan orang-orang Islam dari Canton ke Asia tenggara sekitar tahun 876 . Perpindahan ini dikarenakan adanya pemberontakan yang mengorbankan hingga 150.000 muslim. Menurut Syed Naquib Alatas, tumpuan mereka adalah ke Kedah dan Palembang.
Hijrahnya mereka ke Asia Tenggaran telah membantu perkembangan Islam di kawasan ini. Selain Palembang dan Kedah, sebagian mereka juga menetap di Campa, Brunei, pesisir timir tanah melayu (Patani, Kelantan, Terengganu dan Pahang) serta Jawa Timur. Di samping itu, ada argumentasi laian yang menyatakan bahwa orang Cina telah berhubungan dengan masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia. Pada masa Hindu-Buddha, etnis Cina atau Tiongkok telah berbaur dengan penduduk Indonesia, terutama melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai di Cina pada abad ke-7 M, masa di mana agama ini baru berkembang. Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa menyatakan, menurut kronik masa Dinasti Tang (618- 960) di daerah Kanton, Zhang-zhao, Quanzhou, dam pesisir Cina bagian selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam.
Teori Cina bila dilihat dari beberapa sumber luar negeri (kronik) maupun lokal (babad dan hikayat), dapat diterima. Bahkan menurut sejumlah sumber lokat tersebut ditulis bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro Demak, merupakan keturunan Cina. Ibunya disebutkan berasal dari Campa, Cina bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam). Berdasarkan Sajarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar raja-raja Demak beserta leluhurnya ditulis dengan menggunakan istilah Cina, seperti “Cek Ko Po”, “Jin Bun”, “Cek Ban Cun”, “Cun Ceh”, serta “Cu-cu”. Nama-nama seperti “Munggul” dan “Moechoel” ditafsirkan merupakan kata lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara Cina yang berbatasan dengan Rusia.
Bukti-bukti yang menunjukan bahwa penyebaran Islam dimulai dari Cina adalah ditemukannya: batu nisan syekh Abdul Kadir bin Husin syah Alam di
Langgar, Kedah bertarikh 903 M, batu bertulis Phan-rang di Kamboja bertahun 1025 M, batu nisan di Pahang bertahun 1028 M, batu nisan puteri Islam Brunei bertahun 1048 M, batu bersurat Trengganu bertahun 1303 M dan batu nisan Fathimah binti Maimun di Jawa Timur bertarik 1082 M. Bukti-bukti lainnya adalah masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur Tiongkok yang didirikan oleh komunitas Cina di berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa. Pelabuhan penting sepanjang pada abad ke-15 seperti Gresik, misalnya, menurut catatan-catatan Cina, diduduki pertama-tama oleh para pelaut dan pedagang Cina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar